PENDAHULUAN
Bermain di luar rumah merupakan aktivitas yang sering
dilakukan oleh anak-anak untuk melatih dirinya agar terbiasa dengan lingkungan
yang baru. Cara ini efektif untuk meningkatkan kreativitas anak, membangun
hubungan interpersonal dengan anak yang lain, dan meningkatkan tumbuh kembang
pada anak. Namun, terdapat juga alasan khusus mengapa anak sering bermain di
luar rumah, terutama usia remaja hingga dewasa. Terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi hal tersebut, sehingga kita sebagai orang tua harus lebih memperhatikan
anak dengan baik.
Fenomena di mana anak-anak lebih suka di luar rumah daripada di dalam rumah cukup menarik untuk dikulik. Meskipun adanya hiburan di rumah, kenapa anak-anak tetap merasa perlu untuk menghabiskan waktu di luar rumah. Terdapat sisi positif akan hal itu, misalnya menambah relasi, pengetahuan, pengalaman, atau bahkan pencarian minat dan jati diri. Namun, sebenarnya apa alasan yang menjadi penguat, mengapa anak-anak ingin sekali berada di luar?
PEMBAHASAN
Karena terdapat banyak faktor yang mendasari, kami
akan membahas salah satu faktor terkait yang terjadi. Faktor tersebut adalah
tekanan orang tua, terutama yang berkaitan dengan konflik keluarga dan harapan
besar yang berorientasi pada hasil dengan meletakkan anak pada tanggung jawab dan
beban yang begitu besar, sehingga ia merasa terperangkap dalam dunia yang penuh
dengan ekspektasi. Untuk mengatasi hal tersebut, anak-anak seringkali memilih
untuk keluar dari lingkungan tersebut, dengan harapan dapat menemukan
lingkungan yang menerima dirinya tanpa terikat akan suatu hal yang ia tidak
inginkan. Untuk itu, mereka keluar dari rumah, mencari orang yang mungkin
bernasib sama atau orang yang bisa menerima dirinya tanpa ekspektasi apapun. Alasan
itulah yang menjadi salah satu faktor utama mengapa anak-anak lebih suka di
luar rumah daripada di dalam rumah.
Salah satu contoh ekspektasi tersebut adalah tuntutan
agar anak mendapatkan nilai akademis yang tinggi. Namun, orang tua tidak
memberikan feedback yang nyata untuk membantu anak menggapai hal
tersebut. Mereka lebih berorientasi pada hasil tanpa aktivitas nyata seperti
membantu belajar. Mereka merasa, hanya dengan mencukupi kebutuhannya, maka
tugas mereka selesai. Sisanya diserahkan kepada anak untuk belajar dan belajar.
Tuntutan itulah yang mendorong mereka untuk mencari tempat atau lingkungan baru
yang menerima mereka tanpa tuntutan apapun.
Dampak negatif yang muncul dari kasus tersebut antara lain: perilaku merusak diri, makan berlebihan, bahkan ide untuk melakukan percobaan untuk mengakhiri dirinya. Dalam suatu teori, yaitu Escape Theory, dijelaskan bahwa perilaku merusak diri tertentu dapat memberikan "pelarian" dari pengaruh negatif dan kesadaran diri yang menyakitkan. Sehingga hal tersebut dapat membuat mereka dapat menghindari perasaan negatif. Dalam teori pelarian Baumeister, individu melarikan diri dari kesadaran diri yang merugikan dengan mempersempit fokus ke bagian konsep diri yang tidak berarti.
Jika kita
asosiasikan dalam kehidupan sehari-hari, di mana anak-anak akan mencari tempat
yang lebih bebas, tidak mengadili, dan memberikan ruang eksplorasi yang mereka
inginkan. Dalam Escape Theory, hal ini terjadi saat seseorang menghadapi
tekanan internal misalnya konflik keluarga, ekspektasi yang tinggi, atau
kurangnya perhatian dari orang tua. Sehingga, anak-anak mengasosiasikan “luar
rumah” sebagai rumah mereka yang aman untuk bisa berkembang sesuai dengan yang
mereka inginkan.
STUDI KASUS
Kami akan
mengambil contoh implementasi dari kasus tersebut melalui karakter Todoroki
Shouto dari anime Boku no Hero Academia.
Siapa
Todoroki Shouto? Todoroki Shouto adalah salah satu karakter utama dalam serial
anime Boku no Hero Academia. Todoroki memiliki kekuatan istimewa bernama
Half-Cold Half-Hot, yang memungkinkannya mengendalikan es dari sisi
kanan tubuh dan api dari sisi kiri. Namun, kekuatan ini bukan sekadar genetik,
melainkan hasil dari "pernikahan quirk", di mana ayahnya,
Endeavor—seorang Pro Hero—menikahi ibunya bukan atas dasar cinta, melainkan
untuk melahirkan keturunan kuat yang dapat melampaui Hero nomor 1. Todoroki
menjadi simbol dari harapan ayahnya yang penuh tekanan, dan sejak kecil ia
dibesarkan dalam pola asuh yang keras. Todoroki merepresentasikan dampak
psikologis dari tekanan keluarga dan bagaimana seseorang mencari jalan keluar
atau pelarian dari situasi tersebut.
Ia tidak
merasa rumah adalah tempat yang bisa memberinya kenyamanan atau identitas diri
yang utuh. Maka, ia secara emosional menjauh dari rumah dan mencoba mencari jati
diri di luar rumah, seperti sekolah atau komunitas hero.
Fenomena anak-anak yang lebih memilih untuk berada di luar rumah bukan hanya sekadar pola kebiasaan, melainkan bisa menjadi sinyal sosial yang perlu kita pahami lebih dalam. Melalui refleksi ini, kami mencoba memfokuskan perhatian pada satu faktor utama, yaitu tekanan dalam keluarga, yang kami refleksikan melalui karakter Todoroki Shouto. Kami menggunakan pendekatan berupa Escape Theory, menjelaskan bahwa pelarian dari rumah bukah hanya sebagai penolakan, melainkan upaya dalam bertahan dari tekanan sosial yang tidak mendukung.
PENUTUP
Kasus Todoroki
menunjukkan bahwa tidak semua luka dapat terlihat, dan tidak semua anak
memiliki keberanian untuk mengutarakan keinginannya. Maka, penting bagi kita,
bukan hanya orang tua, melainkan pendidik, bahkan masyarakat luas, untuk
memahami bahwa rumah bukan hanya tempat untuk pulang, tetapi juga tempat yang
memberikan rasa aman dan penerimaan diri.
Penulis
menekankan bahwa kita harus memfokuskan diri kita dengan pemikiran sebagai anak
kecil, bukan dengan pemikiran dewasa saat mencoba berbicara/memahami anak-anak.
Karena anak-anak butuh sebuah kasih sayang, penerimaan, dan pengakuan akan
dirinya. Jika hal tersebut tidak terpenuhi, maka mereka akan mencari tempat
yang dapat menerima pendapat mereka. Yang terburuk adalah ketika mereka tidak
mendapatkan tempat untuk mengungkapkan perasaan mereka. Hal tersebut akan berdampak
pada perkembangan emosional mereka, yang dapat menyebabkan rasa kesepian,
krisis identitas, bahkan mengarah pada gangguan mental seperti kecemasan atau
depresi. Tanpa ruang yang aman untuk berbicara dan didengar, anak-anak dapat
merasa diabaikan, yang akhirnya memengaruhi kemampuan mereka dalam membangun
hubungan sosial di masa depan.
"Pada
akhirnya, seseorang tak selalu membutuhkan pengakuan atas apa yang mereka
lakukan—sejatinya, mereka hanya ingin didengar, dipahami, dan diterima apa
adanya. Ironisnya, untuk mendapatkan itu semua, mereka harus terpaksa mencari
pengakuan."
Terima
kasih telah membaca refleksi kami, dan seperti biasa jangan lupa bersyukur 😊.
Referensi:
https://psycnet.apa.org/doi/10.1521/jscp.1999.18.4.450
Williams, Danielle (2010). Hurting to Cope: Self-Injurious Behavior as an Escape from Self-Focus. Undergraduate Review, 6, 120-129.
0 Komentar